BMKG Ungkap Fenomena ‘Kemarau Basah’, Penyebab Hujan Deras di Bulan Agustus

  • Bagikan
Foto ilustrasi hujan lebat.

Jakarta – Masyarakat dibuat bertanya-tanya: mengapa hujan masih mengguyur sejumlah wilayah Indonesia, termasuk Jakarta dan sekitarnya, padahal kalender sudah menunjukkan bulan Agustus—periode yang seharusnya menjadi puncak musim kemarau?

Menanggapi hal ini, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memastikan bahwa kondisi tersebut masih tergolong normal secara klimatologis. Fenomena ini dikenal sebagai kemarau basah, yakni musim kemarau yang tetap diselingi curah hujan tinggi.

“Ini bukan anomali ekstrem, melainkan hasil dinamika atmosfer yang kompleks,” ujar Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, saat dihubungi, Rabu (6/8).

BMKG mencatat, dalam tiga hari terakhir terjadi hujan lebat hingga ekstrem di sejumlah daerah. Di antaranya Maluku (205,3 mm/hari), Kalimantan Barat (89,5 mm/hari), Jawa Tengah (83 mm/hari), dan Jabodetabek (121,8 mm/hari).

BACA JUGA :  HPN 2023, Wartawan Diminta Kedepankan Etika dan Moralitas dalam Menjalankan Profesinya

Bukan La Nina, Ini Penyebabnya

BMKG menegaskan bahwa hujan yang turun di musim kemarau kali ini bukan disebabkan oleh La Nina, melainkan kombinasi berbagai fenomena atmosfer yang tengah aktif:

  1. Indian Ocean Dipole (IOD) Negatif
    IOD tercatat pada level -0,6, menyebabkan suhu permukaan laut di Samudra Hindia lebih hangat, sehingga meningkatkan suplai uap air yang berkontribusi terhadap hujan.
  2. Gelombang Madden-Julian Oscillation (MJO)
    Aktivitas MJO di wilayah Sumatera hingga Jawa bagian barat meningkatkan pembentukan awan hujan secara signifikan.
  3. Bibit Siklon Tropis 90S
    Terpantau di barat daya Bengkulu, bibit siklon ini memicu konvergensi angin di sepanjang Pulau Jawa, memperkuat pertumbuhan awan konvektif.
  4. Suhu Muka Laut (SST) Hangat
    Kondisi ini mendukung pembentukan awan hujan karena meningkatkan kelembaban atmosfer di atas Indonesia.
  5. Aktivitas Gelombang Atmosfer Lainnya
    Termasuk gelombang Kelvin, Rossby Ekuator, dan Low-Frequency, yang turut memperkuat proses konvektif di atmosfer.
BACA JUGA :  Bharada E Mengaku Diperintah dan Tak Sendirian dalam Aksi Pembunuhan Brigadir J

Prediksi Hujan Tinggi Berlanjut hingga Oktober

Sebelumnya, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengungkap bahwa anomali cuaca ini telah diprediksi sejak Mei 2025 dan diperkirakan terus berlangsung hingga Oktober.

“Melemahnya Monsun Australia membuat suhu muka laut di selatan Indonesia tetap hangat. Ini turut berkontribusi pada curah hujan yang di atas normal di tengah musim kemarau,” jelas Dwikorita dalam konferensi pers daring, awal Juli lalu.

BMKG juga mencatat adanya gelombang Kelvin yang aktif di pesisir utara Jawa, disertai perlambatan dan belokan angin di kawasan barat dan selatan pulau itu, yang memperparah akumulasi massa udara dan memicu hujan.

Deputi Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, menegaskan bahwa kondisi cuaca saat ini masih sejalan dengan prediksi yang dikeluarkan BMKG sebelumnya.

“Betul, masih sesuai prediksi,” ujarnya singkat.

Kesimpulan: Waspada, Tapi Tetap Tenang

Dengan prediksi curah hujan tinggi yang berpotensi berlangsung hingga beberapa bulan ke depan, BMKG mengimbau masyarakat tetap waspada terhadap potensi bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan tanah longsor, terutama di daerah rawan.

BACA JUGA :  Masuk Daftar Hitam, Pelaku Kekerasan Seksual Dilarang Naik Kereta Api Seumur Hidup

Namun, masyarakat juga diingatkan untuk tidak panik. Hujan di musim kemarau bukanlah keganjilan, melainkan bagian dari dinamika alam yang sudah dipetakan dan diprediksi secara ilmiah.*

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights