PURWAKARTA – Dugaan adanya pungutan dengan waktu dan nominal yang telah ditentukan di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 1 Purwakarta menuai sorotan publik. Praktik tersebut dinilai bertentangan dengan prinsip sistem pendidikan nasional yang menegaskan pendidikan harus bebas pungutan di lembaga negeri.
Di tengah semangat pemerintah menjamin pendidikan gratis dan berkeadilan, praktik pungutan di sekolah negeri di bawah Kementerian Agama (Kemenag) dinilai mencederai asas pemerataan dan keadilan pendidikan.
Secara hukum, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menegaskan pemerintah wajib menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi (Pasal 11 Ayat 1).
Ketentuan itu dipertegas dengan larangan pungutan di satuan pendidikan negeri, kecuali dalam bentuk sumbangan sukarela yang tidak bersifat mengikat.
Namun, di MTsN 1 Purwakarta, pihak sekolah diduga masih menerapkan pungutan dengan alasan “kesepakatan komite” atau “partisipasi orang tua” untuk menutupi kekurangan biaya operasional di luar Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Padahal, menurut regulasi, kesepakatan yang memuat unsur kewajiban tetap tergolong pungutan ilegal. Hal itu ditegaskan dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah serta KMA Nomor 184 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Dana BOS Madrasah.
“Tidak boleh ada pungutan wajib di madrasah negeri apa pun alasannya. Negara sudah menugaskan pemerintah menanggung pembiayaan dasar pendidikan. Jika ada kekurangan, harus diselesaikan lewat mekanisme APBN, bukan dibebankan ke siswa,” ujar Agus M. Yasin, Sekretaris Komunitas Pendamping dan Pengayom Pendidikan (KP3), kepada wartawan, Rabu (22/10/2025).
Agus menambahkan, praktik pungutan semacam ini bukan hanya berpotensi melanggar hukum administrasi, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan agama negeri.
Ia mengingatkan, jika dilakukan tanpa dasar hukum yang sah, pungutan tersebut dapat menjadi temuan bagi Inspektorat Jenderal Kemenag, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), maupun Ombudsman RI.
“Sistem pendidikan nasional dibangun atas prinsip keadilan, inklusivitas, dan nirlaba. Legalisasi pungutan dalam bentuk apa pun di madrasah negeri merupakan penyimpangan terhadap mandat konstitusi dan UU Sisdiknas,” tegasnya.
Agus juga mendesak Kementerian Agama melakukan audit kepatuhan terhadap madrasah negeri di seluruh Indonesia untuk memastikan prinsip pendidikan tanpa pungutan benar-benar diterapkan.
“Sebagai lembaga yang seharusnya menjadi teladan moral dan integritas, madrasah negeri tidak boleh mentolerir praktik yang berpotensi melanggar hukum dan etika publik. Perlindungan hak peserta didik dari pungutan wajib adalah bagian dari tanggung jawab negara,” tambah Agus.
Sementara itu, Kepala Seksi Pendidikan Madrasah (PenMad) Kemenag Kabupaten Purwakarta, H. Munir, saat dikonfirmasi wartawan melalui pesan WhatsApp menyatakan akan segera menindaklanjuti temuan tersebut.
“Saya akan segera bicara dan bertemu dengan komite, kepala sekolah, serta civitas MTs dan asrama pesantrennya. Insyaallah nanti hasilnya seperti apa, tunggu saja. Mohon maaf, saya di Penmad baru setahun kurang, jadi belum hafal kebijakan terdahulu,” ujar Munir.
Kepala MTsN 1 Purwakarta, H. Hasan Sopwan, ketika dihubungi wartawan hanya memberikan tanggapan singkat melalui pesan singkat.
“Waalaikumussalam, mohon maaf,” tulisnya.
Praktik pungutan di lembaga pendidikan negeri, jika terbukti melanggar aturan, berpotensi menjadi pelanggaran administratif serius. Publik kini menantikan langkah tegas Kementerian Agama untuk memastikan pendidikan madrasah negeri tetap berada dalam koridor hukum dan prinsip keadilan sosial.*(AsBud)























