JAKARTA – “Bapak Soeharto masih pantas memimpin negara ini dan rakyat mengharapkan Bapak Soeharto untuk bersedia menjadi presiden berikutnya,” ucap Ketua Umum Partai Golkar Harmoko saat bertemu Presiden Soeharto jelang pemilihan presiden 1998.
Percakapan itu terekam dalam buku Jejak kudeta 1997-2005, Catatan Harian Letnan Jenderal (Purn) TNI Djadja Suparman.
Harmoko begitu getol mendesak Soeharto untuk kembali mencalonkan diri sebagai presiden.
Pada peringatan hari ulang tahun Golkar, 20 Oktober 1997, Harmoko menyampaikan pidato panjang lebar untuk meyakinkan Soeharto maju kembali.
Dia pun menindaklanjuti pidato dengan Safari Ramadan. Setelah kegiatan itu, Harmoko kembali bicara kepada Soeharto. Kata Harmoko, rakyat di berbagai daerah masih menginginkan Pak Harto untuk menjadi presiden.
Walaupun demikian, keraguan awalnya menyelimuti Soeharto. Sebagian kalangan percaya Soeharto mau menyudahi eranya.
Dia pun sempat bertanya ke Harmoko dan sejumlah elite Golkar apakah rakyat masih ingin dipimpin olehnya.
Harmoko dan para menteri lain pun begitu ngebet mendorong Soeharto maju lagi. Bahkan, Harmoko mengklaim mayoritas rakyat Indonesia mendukung pencalonan kembali Soeharto pada Sidang Umum MPR pada Maret 1998. Dorongan pun juga diberikan lima fraksi MPR RI saat itu.
Harian Kompas mencatat pimpinan 5 fraksi MPR RI sowan ke Cendana pada 8 Maret 1998, pada saat sidang berjalan di MPR.
Pada pertemuan sekitar dua jam itu, perwakilan Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP), Fraksi Karya Pembangunan (F-KP), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (F-PDI), Fraksi Utusan Daerah (F-UD), dan Fraksi ABRI (F-ABRI) bergantian menghadap Soeharto.
Mereka bersuara bulat: meminta Soeharto untuk bersedia dicalonkan lagi.
Setelah pertemuan itu, Soeharto pun memutuskan untuk maju sekali lagi. Pak Harto memegang prinsip tinggal glanggang colong playu, tidak mengelak dari kepercayaan rakyat demi kepentingan negara dan bangsa.
Pada 1998, Soeharto pun kembali mencalonkan diri. MPR kembali memilih “The Smiling General” sebagai presiden pada 10 Maret. Dia pun dilantik pada hari berikutnya.
Meski begitu, periode baru kepemimpinan Soeharto tak berlangsung lama. Sekitar 70 hari setelah dilantik, Soeharto lengser dari jabatan presiden.
Dia mengundurkan diri usai pengunduran diri para menteri dan demonstrasi besar-besaran.