JAKARTA — Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) berdiri dengan anggun di tengah denyut ibu kota. Ia tak berbicara, namun menyimpan ribuan kisah. Gedung tua bergaya Neo Renaisans yang didirikan pada 1821 ini adalah saksi bisu dari gelombang sejarah, denyut perjuangan, dan napas panjang kebudayaan bangsa.
Dibangun pada masa Weltevreden yang kini menjadi kawasan Jakarta Pusat, GKJ awalnya dikenal sebagai Schouwburg Weltevreden atau Gedung Komedi. Ide pembangunannya muncul dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels, yang kemudian direalisasikan oleh Gubernur Jenderal Inggris, Thomas Stamford Raffles pada 1814.
Kemegahan GKJ tak hanya tercermin dari arsitekturnya, tetapi juga dari fungsinya yang terus bergeser mengikuti dinamika zaman. Gedung ini pernah menjadi lokasi Kongres Pemuda I tahun 1926, tempat pengukuhan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) oleh Presiden Soekarno pada 29 Agustus 1945, hingga menjadi ruang kuliah Fakultas Ekonomi dan Hukum Universitas Indonesia pada 1951.
Puncak perjalanan GKJ terjadi saat ia diubah menjadi panggung seni, tempat Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) bernaung pada 1957–1961. Namun seiring waktu, nuansa seni sempat mengabur saat GKJ berganti wajah menjadi bioskop “Diana” pada 1968, lalu menjadi “City Theater” setahun kemudian. Baru pada 1984, melalui SK Gubernur DKI Jakarta No. 24, gedung ini resmi dikembalikan ke jati dirinya sebagai pusat kesenian, dan dipugar menyeluruh pada 1987.
Kini, GKJ berdiri megah di Jalan Gedung Kesenian No.1, Jakarta Pusat bukan hanya sebagai bangunan, tapi sebagai penjaga warisan budaya.

Sebagai seorang jurnalis foto, saya merasa diberkahi ketika diberi kesempatan mengabadikan pertunjukan musik Mas Erros Djarot bersama “Barongs Band Milenial” pada Jumat malam, 9 Mei 2025. Konser gratis itu menjadi momen yang tak terlupakan, bukan hanya karena musiknya, tetapi karena latarnya: panggung sejarah yang hidup.

Saya menyaksikan langsung bagaimana GKJ menjelma menjadi ruang magis yang membungkus seni dalam kemewahan akustik, pencahayaan, dan suasana. Tata suara yang modern berpadu sempurna dengan arsitektur klasik. Sorotan lampu menari dalam irama, menghadirkan permainan visual yang memanjakan mata lensa dan penonton.

Setiap lagu yang dibawakan terasa memiliki jiwa, dan GKJ menjadi saksi yang sempurna dalam diam, tapi memahami.
Di tengah riuh tepuk tangan dan dentuman suara, hati saya diam-diam bersyukur. Ada rasa haru, bangga, dan kagum, bisa berada di tempat yang bukan hanya gedung tua, tapi ruang hidup yang menyimpan energi budaya lintas generasi.
Gedung Kesenian Jakarta bukan sekadar tempat pertunjukan. Ia adalah lembaran hidup yang menunggu untuk terus diisi oleh karya-karya seniman musik, teater, tari, dan budaya lainnya terbuka untuk siapa saja, dari kelas atas, menengah, hingga akar rumput.

GKJ adalah ruang tanpa sekat. Ia menyambut siapa pun yang datang dengan niat mencipta dan merayakan seni.
Dan saya, seorang fotografer biasa, hanya bisa berdoa dalam lirih: semoga suatu hari, saya bisa kembali ke sini. Menangkap lagi momen-momen dahsyat, di gedung yang tak bisa berkata, tapi tak henti bercerita.*
Oleh: Joko (Dolok) Prayitno

























