JAKARTA – Gunung es raksasa A23a di Antartika mulai hancur menjadi potongan-potongan besar setelah lebih dari tiga dekade melayang dan tertahan di dasar laut. Peristiwa ini menarik perhatian ilmuwan karena ukuran A23a yang masif dan potensi dampaknya terhadap ekosistem laut di sekitarnya.
Gunung es A23a semula memiliki berat sekitar 1,1 triliun ton dengan luas 3.672 kilometer persegi. Sejak terlepas dari lapisan es Filchner-Ronne pada 1986, A23a telah menjadi salah satu gunung es terbesar di dunia yang terus dipantau. Kini, luasnya menyusut drastis menjadi sekitar 1.700 kilometer persegi—setara dengan wilayah Greater London.
“A23a mulai pecah dengan cepat, melepaskan potongan-potongan besar yang masing-masing diklasifikasikan sebagai gunung es besar,” kata Andrew Meijers, oseanografer dari British Antarctic Survey (BAS), Rabu (4/9).
Perjalanan Panjang A23a
Selama lebih dari 30 tahun, A23a tertahan di dasar Laut Weddell sebelum akhirnya mulai bergerak pada 2020 akibat mencairnya bagian bawah gunung es. Setelah sempat terjebak di kolom Taylor—pusaran laut yang terbentuk saat arus bertemu gunung bawah laut—A23a kembali bergerak pada Desember 2024. Pada Maret 2025, gunung es ini sempat kandas di landas kontinen, kemudian mengapung lagi pada Mei dan terus terbawa arus laut.
Saat ini A23a mengikuti arus jet Southern Antarctic Circumpolar Current Front (SACCF) menuju kawasan South Georgia, wilayah seberang laut Britania di Samudra Atlantik Selatan. “A23a mengalami nasib serupa dengan megaberg lain seperti A68 dan A76 yang juga hancur di sekitar South Georgia,” ujar Meijers.
Krisis Iklim dan Gunung Es
Dengan pecahnya A23a, gelar gunung es terbesar di dunia kini dipegang D15a seluas 3.000 kilometer persegi. Meski A23a masih tercatat sebagai gunung es terbesar kedua, Meijers memprediksi status tersebut tidak bertahan lama. “Pembelahan diperkirakan akan terus berlanjut dalam beberapa minggu ke depan,” katanya.
Ia menambahkan peningkatan suhu air laut dan datangnya musim semi di belahan Bumi selatan mempercepat kehancuran A23a menjadi potongan yang terlalu kecil untuk dipantau. Meski pecahnya gunung es merupakan proses alami, data yang ada belum cukup untuk memastikan apakah frekuensi megaberg pecah meningkat akibat perubahan iklim.
Namun, Meijers menegaskan lapisan es Antartika telah kehilangan triliunan ton es dalam beberapa dekade terakhir, sebagian besar akibat pemanasan air laut dan perubahan pola arus. “Perubahan iklim yang disebabkan manusia mendorong perubahan signifikan di Antartika dan berpotensi menyebabkan kenaikan permukaan laut secara drastis,” ujarnya.
Dampak Ekologis di Perairan Sekitar
Tim peneliti dari kapal riset kutub BAS, RRS Sir David Attenborough, sempat mengunjungi A23a saat gunung es itu terjebak di sekitar South Georgia. Sampel dari lokasi tersebut kini dianalisis di Inggris.
“Penumpukan dan pelepasan air tawar dalam jumlah besar kemungkinan berdampak signifikan terhadap organisme di dasar laut dan perairan sekitarnya,” kata juru bicara BAS. Ia menekankan pentingnya memahami dampak megaberg karena keberadaan gunung es besar di wilayah South Georgia diperkirakan akan semakin sering terjadi seiring meningkatnya suhu global.*
























