Di Persimpangan Sejarah, Arah Baru Jakarta Pasca Ibu Kota

  • Bagikan
Foto: ilustrasi by Reno

JAKARTA — Setelah lebih dari tujuh dekade menjadi pusat kekuasaan politik Indonesia, Jakarta kini memasuki era baru. Statusnya sebagai ibu kota resmi beralih ke Nusantara di Kalimantan Timur. Namun, jauh dari kehilangan makna, perubahan ini justru membuka peluang emas bagi Jakarta untuk membentuk identitas baru sebagai kota global yang lebih inklusif, tangguh, dan berkelanjutan.

Di tengah transisi monumental ini, Jakarta berdiri di persimpangan sejarah dan bukan lagi sebagai pusat kekuasaan politik, tetapi sebagai kota megapolitan untuk menata diri, memperbaiki wajah, dan membangun masa depan baru.

Dengan dilantiknya duet pemimpin baru, Pramono Anung sebagai Gubernur dan Rano Karno sebagai Wakil Gubernur pada Kamis, 20 Februari 2025 lalu publik menaruh harapan tinggi. Pramono dikenal sebagai sosok teknokrat berpengalaman dan mantan Sekretaris Kabinet, sementara Rano Karno membawa perspektif kultural dan kerakyatan yang kuat dari pengalamannya di dunia seni dan pemerintahan.

Pergeseran status Jakarta dari ibu kota negara menjadi kota khusus mendorong perlunya arah pembangunan yang lebih inklusif dan visioner. Jakarta bisa fokus mengatasi persoalan klasik yang belum terselesaikan, seperti kemacetan, banjir, polusi, ketimpangan sosial, dan tata ruang yang semrawut.

BACA JUGA :  Presiden Jokowi Telah Kantongi Nama Calon Kepala Otorita IKN

Namun di balik tantangan itu, muncul peluang besar. Jakarta kini bebas dari tekanan simbolik sebagai pusat pemerintahan dan bisa lebih fleksibel mengembangkan diri sebagai kota global, pusat ekonomi, budaya, dan inovasi teknologi.

“Kita harus menjadikan Jakarta sebagai kota yang nyaman ditinggali, bukan hanya tempat orang mencari uang,” ujar Pramono Anung dalam pidato perdananya, Kamis (20/2/2025).

Ia juga menekankan pentingnya memperluas transportasi publik ramah lingkungan, membangun permukiman terjangkau, serta mengembangkan ekosistem digital untuk mendukung ekonomi kreatif.

Dalam penyampaian itu Rano Karno menambahkan pentingnya masyarakat Jakarta tidak menghilangkan kultur sejarah Betawi yang kental dengan etnik dan budayanya. “Jakarta bukan hanya tentang gedung-gedung tinggi, tapi tentang manusia, budaya, dan identitas. Kita ingin Jakarta tumbuh tanpa kehilangan jati dirinya,” imbuhnya.

Sejarah panjang Jakarta sebagai ibu kota mencatat berbagai pemimpin dengan pendekatan berbeda-beda. Gubernur Ali Sadikin (1966–1977) dikenal sebagai pemimpin pembangunan yang berani. Di bawahnya, Jakarta mengalami modernisasi, namun juga kontroversi atas proyek-proyek besar dan penertiban keras.

BACA JUGA :  Pernah Jadi Tempat Isolasi Pasien Covid-19, Dua Rusun di Jakarta akan Kembali Jadi Hunian Warga

Gubernur Sutiyoso (1997–2007) memperkenalkan TransJakarta dan merintis sistem transportasi publik massal, dan kemudian dilanjutkan oleh Fauzi Bowo (2007–2012) dikenal dengan program penataan transportasi, meskipun masih terbatas hasilnya.

Pada tahun 2012-1024, Jakarta dipimpin Gubernur Joko Widodo yang membawa pendekatan pro-rakyat dan blusukan, memperkuat sistem pelayanan publik, yang kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (2014–2017) yang menekankan transparansi, penertiban, dan reformasi birokrasi, namun gaya komunikasinya memicu kontroversi.

Sementara itu, pada era kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan (2017–2022) yang selalu mengaungkan tentang keadilan sosial dan pembangunan berbasis komunitas dengan membawa perubahan besar terhadap Jakarta pada masanya.

Heru Budi Hartono (Pj Gubernur, 2022–2025) menjalankan fungsi transisi menjelang pemilihan kepala daerah langsung.

Masing-masing membawa warisan kebijakan dan meninggalkan pekerjaan rumah besar yang kini menjadi tanggung jawab Pramono dan Rano dengan membawa Visi Baru untuk Jakarta dalam lima tahun ke depan, visi transformasi Jakarta mencakup:

  • Penguatan Infrastruktur Hijau dan Biru: Penanganan banjir berbasis alam, ruang terbuka hijau, dan pemulihan badan air.
  • Peningkatan Mobilitas Publik: Integrasi moda transportasi dan pengurangan kendaraan pribadi.
  • Revitalisasi Kawasan Historis dan Pinggiran Kota: Menyeimbangkan pembangunan antara pusat dan perifer, tanpa menggusur masyarakat kecil.
  • Pengelolaan Sampah dan Polusi Udara: Teknologi pengolahan sampah modern dan kebijakan udara bersih.
  • Kota Ramah Inklusi dan Budaya: Kota yang terbuka bagi semua identitas dan lapisan masyarakat, se- kaligus melestarikan kekayaan budaya Betawi dan lainnya.
BACA JUGA :  Sambut HUT ke-496 Jakarta, Ancol Bagi-Bagi Tiket Gratis

Jakarta kini bukan lagi milik elite pemerintahan, tetapi milik seluruh warganya. Jika transisi ini ditangani dengan kepemimpinan yang inklusif dan berani mengambil langkah besar, maka Jakarta punya peluang emas menjadi contoh kota global yang berdaulat atas nasibnya sendiri.

Di persimpangan sejarah ini, pertanyaannya bukan lagi apa yang Jakarta warisi dari masa lalu, melainkan apa yang akan diwariskan Jakarta untuk masa depan Indonesia.*

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights