JAKARTA – Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti menyebut penetapan tersangka aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti merupakan upaya pemerintah membungkam aktivis yang kritis pada negara.
“Saya kira ini memang cara penguasa untuk membungkam aktivis. Hukum itu benar-benar digunakan secara efektif untuk autocratic legalism,” kata Bivitri secara virtual dalam diskusi Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden, Sabtu (19/3).
Dia menjelaskan autocratic legalism yang dimaksud yaitu cara pandang yang melihat segalanya secara legalistik, seakan diakomodasi oleh aturan atau dilakukan oleh aparat berseragam dan dianggap benar.
“Jadi kalau kita mengutip literatur autocratic legalism dibilang ini cara yang jauh lebih mengerikan dari kudeta, melebihi kudeta pakai tank dan tentara,” ujarnya.
Dia menilai penetapan tersangka Haris dan Fatia dianggap efektif karena masyarakat akan menganggap apapun yang dilakukan penguasa adalah benar, karena bertindak atas nama hukum.
Sementara yang terjadi sebenarnya, kata Bivitri, hukum yang diterapkan tidak adil.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur berpendapat ada proses yang janggal dan serupa rezim Orde Baru dalam penetapan tersangka kedua aktivis itu.
Dia menilai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi alat pemerintah untuk membungkam aktivis, seperti era pemerintahan Soeharto.
“Ini semakin menebalkan pasal UU ITE menjadi cara membungkam aktivis. Sama seperti jaman orde baru orang dibungkam dan sekarang sama pakai UU ITE,” ujarnyapada kesempatan yang sama.
Ia mengatakan prosedural penetapan tersangka Haris dan Fatia terbilang cepat, jika dibandingkan dengan prosedur pelaporan yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH).