Jadi, apakah mereka korban kerusuhan antar suporter? Apakah mereka korban dari penonton yang anarkis? Atau mereka lebih cocok jadi korban gas air mata petugas? Silakan Anda jawab sendiri. Saat ini pemerintah sedang membentuk tim investigasi untuk mengusut tuntas tragedi ini. Tapi sayang, menurut beberapa sumber berita, ketua tim investigasi saat ini adalah Ketua Umum PSSI Iwan Bule yang merupakan mantan perwira tinggi Polri, mantan Kadiv Propam Polri dan Kapolda Metro Jaya. Seharusnya tim investigasi terdiri dari orang-orang independen, dipimpin bukan oleh pihak yang terkait kebutuhan investigasi ini, termasuk PSSI.
Sebenarnya, hal paling penting bukan mencari siapa yang salah. Tetapi apa yang salah. Kita tahu semua pihak dalam tragedi ini memiliki porsi kesalahannya masing-masing, suporter, klub, panpel, PT LIB, PSSI, Polisi, TNI, dan mungkin juga pemerintah daerah. Kita tidak sedang berusaha menyalahkan salah satu pihak saja. Tapi harus ditemukan apa kesalahan yang paling fatal? Sehingga setelah terjelaskan ‘apa yang salah’, jelas pula ‘siapa yang harus bertanggung jawab’.
“Coba lihat video suporter Arema menyerang pemain dan ofisial Persebaya bahkan di dalam rantis barracuda. Ada videonya.” Pesan seorang komentator yang lain. Memang ada fakta bahwa suporter menyerang kendaraan taktis yang digunakan para pemain Persebaya, tetapi kejadian itu rasanya setelah semua chaos terjadi di stadion. Setelah jatuh para korban jiwa dari pendukung Arema.
Kita menunggu semua pihak yang terlibat melaksanakan perintah Presiden dan desakan masyarakat Indonesia untuk mengusut tuntas kasus ini.
“Saya telah perintahkan kepada Menpora, Kapolri dan Ketua Umum PSSI untuk melakukan evaluasi menyeluruh tentang pelaksanaan pertandingan sepak bola dan juga prosedur pengamanan penyelenggaraannya.” Pesan Presiden, Minggu (2/10/2022), dalam siaran video.
Seraya menunggu semua itu, kita berharap ada yang secara ‘gentleman’ mengambil tanggung jawab moral. Bukan merasa tidak bersalah dan melemparkan kesalahan kepada pihak lain. Polisi merasa sudah melaksanakan tugas sebagaimana mestinya, bahkan mengirim surat kepada panpel, seolah menyalahkan klub dan panitia. Panitia menyalahkan stasiun TV dan PSSI. Dan PSSI memberi sanksi kepada Arema FC sambil menunjuk hidung panitia lokal. Kapolri, Kapolda, Ketua Umum PSSI, Dirut PT LIB, Presiden Arema FC, semua tak ada mengundurkan diri. Yang mengundurkan diri justru komentator Liga 1 Radot Valentino ‘Jebret’ Simanjuntak.
Mari kita bersama mengheningkan cipta, memberikan doa yang terbaik untuk para korban meninggal, sambil membayangkan apa yang dilihat pemain depan Arema FC Abel Camara, “Kami menampung orang-orang yang terkena gas air mata di dalam ruang ganti. Mereka meninggal tepat di depan kami. Ada sekitar 7-8 orang meninggal di ruang ganti.” Duh, Gusti.
Ah, sepak bola memang tak pernah setara dengan nyawa. 5-10 tahun dari hari ini, tentu stadion-stadion akan ramai lagi. Industri sepak bola Indonesia akan bangkit dan mulai melupakan peristiwa di Stadion Kanjuruhan, Malang. Jika saat itu tiba, mungkin rasa kita tentang sepak bola tidak sesedih hari ini. Tapi, pada saat itu, pasti ada hati seorang ibu yang masih terluka, ia membenci sepak bola untuk selama-lamanya, karena telah merenggut buah hatinya.
Pak, tidak apa-apa tidak mau disalahkan tentang gas air mata. Tapi jangan salahkan 125 korban meninggal yang mungkin tidak bersalah itu. Sebagian dari mereka hanya duduk di tribun, mungkin lansia, perempuan dan anak-anak. Jika yang salah perusuh, mengapa Bapak menembak ke arah tribun?