CIKARANG BARAT– Kasus perundungan berat di salah satu SMK Negeri di Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, menguak fakta baru. Kepala sekolah, Bambang Nurcahyo, mengungkap kelompok pelaku berupaya menutup-nutupi aksi kekerasan terhadap siswa kelas 10 berinisial AAI (16) yang berujung patah tulang rahang.
Menurut Bambang, peristiwa itu terjadi Selasa (2/9/2025) siang di Lapangan Irepo, sekitar satu kilometer dari sekolah. Para pelaku merupakan gabungan siswa aktif, alumni, hingga pelajar dari sekolah lain yang menamakan diri “Barisan Siswa” (Basis).
“Memang mereka bikin barisan di lapangan itu. Katanya ada anak main layangan, supaya dia enggak nyooting, jadi ditutup pakai barisan,” ujar Bambang di Gedung DPRD Kabupaten Bekasi, Jumat (19/9/2025).
AAI dipanggil kakak kelasnya, digiring ke lapangan sepak bola, lalu dipaksa berjongkok dengan wajah mendongak ke langit sebelum dipukuli bergiliran.
“Posisinya mereka berjejer mukulin anak saya satu per satu. Satu orang bisa mukul sampai delapan kali. Setelah selesai, bergeser, lalu giliran yang lain,” kata ayah korban, Indra Prahasta (41), kepada wartawan, Kamis (18/9/2025). Akibat pemukulan itu, rahang AAI patah dan harus menjalani operasi bedah mulut.
Langkah Tegas Putus Rantai Kekerasan
Kasus ini memicu mediasi antara pihak sekolah, keluarga korban, anggota DPRD, dan dinas terkait. Bambang menyebutkan, semua pihak sepakat mengambil langkah tegas untuk memutus praktik perundungan oleh kelompok “Basis”.
“Tadi kami sudah sepakat dengan dewan dan pemerintah daerah untuk memutus rantai ini. Sehingga tidak lagi ada bullying atau pemukulan terhadap siswa,” ujarnya usai mediasi.
Ia menambahkan, ada kemungkinan para pelaku yang masih di bawah umur dibina melalui program pendidikan karakter di barak militer. “Kami punya program dari provinsi. Nanti anak-anak yang nakal itu dibawa ke barak supaya ada pendidikan di sana,” kata Bambang.
Program pembinaan ini dimungkinkan oleh sistem peradilan pidana anak yang membuka ruang penyelesaian di luar jalur pengadilan. Upaya pencegahan juga melibatkan kepolisian dan TNI. “Mudah-mudahan ke depannya tidak akan ada lagi begitu,” tuturnya.
Kasus AAI mempertegas urgensi penanganan serius terhadap kekerasan antarsiswa. Publik kini menanti komitmen sekolah, aparat penegak hukum, dan pemerintah daerah untuk memastikan kejadian serupa tak terulang.*

























